Mencari pola kepemimpinan yang tepat untuk negara demokrasi

Selasa, 02 Agustus 2011

 Oleh: Aat Eska Fahmadi

“Mencari pola kepemimpinan yang tepat untuk negara demokrasi”

Pendahuluan
 Dalam sistem demokrasi yang  telah berjalan di indonesia sekarang ini belum bisa kita rasakan dampak positif secara masive yang dirasa mampu mengatasi masalah masalah yang dihadapi oleh masyarakat indonesia seperti kemiskinan, lapangan pekerjaan ,pendidikan dsb, bahkan realita yang terjadi dilapangan masyarakat semakin mengalami kegalaun dengan sistem kepemimpinan yang sedang berjalan di negara kita ini, karena tidak kunjung mampu untuk menyelesaikan masalah negara, apa yang saya kemukakan itu bukan sekedar soal pribadi. Secara nasional memang kita memerlukan pemimpin untuk meneruskan jalannya sejarah republik kita ini. Tentu saja yang dimaksud adalah pemimpin yang mampu membawa masyarakat kita kepada cita-cita nasional yang telah digariskan rakyat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dilandasi oleh falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Faktor kepemimpinan teramat penting dan menentukan dalam kehidupan setiap bangsa, karena maju mundurnya masyarakat, jatuh bangunnya bangsa, ditentukan oleh pemimpinnya. Pemimpinlah yang merancang masa depan serta menggerakkan masyarakat untuk mencapai cita-cita tertentu. Apa yang saya kemukakan itu tidak hanya berlaku untuk pemimpin politik, tetapi untuk pemimpin pada semua tingkatan dansemua lingkungan.
Yang diminta kepada saya untuk membahas adalah kepemimpinan masa depan. Kalau
kita berbicara mengenai masa depan bangsa Indonesia, kita berbicara mengenai masyarakat
Indonesia yang modern, yakni yang maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan. Tetapi juga
masyarakat yang berkepribadian.Oleh karena itu, kepemimpinan masa depan adalah kepemimpinan dalam masyarakat Indonesia yang modern.  Sewajarnyalah apabila terlebih   dahulu dikenali bagaimana ciri-ciri suatu masyarakat modern. Masyarakat Indonesia modern pertama-tama haruslah memenuhi syarat masyarakat modern yang berlaku umum, ditambah kekhasannya sendiri.
Mencari sosok pimpinan yang dapat diteladani merupakan pekerjaan yang “susah-susah gampang,” dan seringkali mengandung resiko, mengingat definisi pemimpin mengandung berbagai makna yang terkait dengan pengetahuan, etika, moralitas, keahlian, kredibilitas, serta kemampuan melakukan komunikasi, keluasan visi dan persyaratan-persyaratan lain yang dianggap penting perlu dipenuhi oleh seorang pemimpin. Namun demikian, ada beberapa pokok pemikiran tentang konsep pemimpin dan kepemimpinan yang baik dalam demokrasi. Hal ini dengan mengingat demokrasi adalah sebuah sistem politik yang masih baru saja kita terapkan dan sedang mencari bentuknya yang di satu pihak



diharapkan sesuai dengan perkembangan masyarakat tapi di lain pihak diharapkan sejalan dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara modern. Pada suatu sistem politik demokrasi, tugas menjadi pemimpin adalah merupakan tugas menunaikan amanat publik. Pada setiap tingkatan kepemimpinan publik, apakah pemimpin nasional ataupun pemimpin pada tingkat lokal, amanat publik tidak diberikan secara gratis, melainkan harus dibayar dengan pertanggung jawaban publik mengenai tugas yang dibebankan kepadanya.
Oleh sebab itu, dalam sistem kepemerintahan kita, walaupun tidaksemua lembaga negara dan lembaga publik pemimpinnya langsung dipilih oleh rakyat, pemilihan mereka harus dilakukan melalui proses yang langsung melibatkan kelembagaan yang dipilih langsung oleh rakyat. Misalnya, DPR melakukan fit and proper test terhadap pemimpin yang akan ditugaskan memimpin lembaga yang sangat strategis serta menyangkut kepentingan rakyat secara keseluruhan. Demikian pula Presiden harus dapat mempertanggung jawabkan kinerja Kabinet yang dipilihnya kepada rakyat yang memilih Presiden, dan seterusnya.
Makin kokoh mekanisme salingmempertanggung jawabkan kinerja antar lembaga-lembaga penyelenggaran negara terhadap rakyat, maka demokrasi yang ada dapat dianggap berjalan makin baik atau lebih terkonsolidasi. Demokrasi modern dipilih sebagai sistem politik umumnya karena sistem ini menyediakan mekanisme pertangungjawaban terlengkap dibandingkan dengan semua sistem politik yang pernah ada dan dijalankan oleh sebuah negara. Sistem demokrasi memiliki dasarfilosofi, seperti halnya rakyat yang dipimpinnya, pemimpin adalah manusia biasa, bukan superman. Pemimpin dipilih karena bakat-bakat dan kredibilitas yang dimilikinya diperlukan oleh masyarakat untuk menerjemahkan sebuah visi bersama menjadi misi bersama yang bisa dilaksanakan secara sebaik-baiknya untuk kebaikan seluruh masyarakat pemilihnya.











Rumusan masalah
1.      Mengerti definisi kepemimpinan secara mendalam
2.      Mengerti permasalahan kepemimpinan di masa demokrasi
3.       Perlunya adanya pemimpin yang informatif
4.       Mempersiapka Kepemimpinan di masa yang akan datang
 
Bab 1
 1.1 Apa definisi dari kepemimpinan?

Apakah arti kepemimpinan?  Menurut sejarah, masa “kepemimpinan” muncul pada abad 18. Ada beberapa pengertian kepemimpinan, antara lain:
  1. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk  mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).
  2. Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7).
  3. Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama (Rauch & Behling, 1984, 46).
  4. Kepemimpinan adalah kemampuan seni atau tehnik untuk membuat sebuah kelompok atau orang mengikuti dan menaati segala keinginannya.
  5. Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan (Jacobs & Jacques, 1990, 281).
Banyak definisi kepemimpinan yang menggambarkan asumsi bahwa kepemimpinan dihubungkan dengan proses mempengaruhi orang baik individu maupun masyarakat. Dalam kasus ini, dengan sengaja mempengaruhi dari orang ke orang lain dalam susunan aktivitasnya dan hubungan dalam kelompok atau organisasi.
John C. Maxwell mengatakan bahwa inti kepemimpinan adalah mempengaruhi atau mendapatkan pengikut Pemimpin adalah inti dari manajemen. Ini berarti bahwa manajemen akan tercapai tujuannya  jika ada pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin.
Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama.

1.2 kepemimpinan di masa demokrasi
Salah satu pondasi dasar dari pandangan dan pemikiran demokrasi adalah kemajemukan dan menghargai perbedaan. Selain itu, Demokrasi juga dipandang sebagai nilai bersama suatu bangsa dalam membangun sistem pemerintahan negara yang bersumber dari rakyat. Dengan kata lain, demokrasi menjadi sebuah pre-skripsi yang bermuatan nilai moral dan menjadi sebuah norma. Keberhasilan suatu bangsa dan suatu negara tidak hanya diukur dari neraca perekonomian, tingkat kesejahteraan dan pendidikan, tetapi juga diukur melalui seberapa jauh suatu bangsa dan negara melaksanakan demokrasi dengan bentuk tertentu dari demokrasi yang dianggap sebagai bentuk ideal sebagai patokan ukuran keberhasilan pelaksanaan demokrasi.
Untuk memahami demokrasi, ada dua pendekatan yang sering digunakan para ilmuwan politik. Pertama, secara normatif dimana demokrasi dipahami sebagai sesuatu yang secara ideal hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh suatu negara (demokrasi diartikan sebagai tujuan atau resep tentang bagaimana demokrasi itu seharusnya). Pengertian umum ini dapat dilihat dari ungkapan bahwa demokrasi itu adalah pemerintahan oleh rakyat dari rakyat dan untuk rakyat.
Kedua, secara empiris dimana demokrasi berkenaan dengan perwujudannya dalam kehidupan politik praktis dan sistem politik yang ada. Banyak teori tentang demokrasi itu berada pada tingkat normatif, sementara literatur tentang demokratisasi dicirikan oleh pendekatan empiris. Kriteria-kriteria untuk melihat sebuah bentuk pemerintahan demokratis atau tidak bersumber pada pendekatan empiris ini. Walaupun penerapan demokrasi di beberapa tempat melahirkan bentuk demokrasi yang beragam, akan tetapi ada kriteria universal yang berlaku bagi semua tempat yang melaksanakan demokrasi.
Kriteria universal untuk mengukur demokrasi itu dapat dibagi menjadi lima (Afan Gaffar, 2000: 7) yaitu:
1. Akuntabilitas.
Setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya.
2. Rotasi kekuasaan.
Dalam demokrasi peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada dan dilakukan secara teratur serta damai. Tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan sementara peluang orang lain tertutup sama sekali.
3. Rekrutmen politik terbuka.
Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan adanya suatu sistem rekrutmen politik yang terbuka. Artinya setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik dengan dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut
4. Pemilihan umum.
Dalam suatu negara demokrasi pemilu dilakukan secara teratur dan setiap warga negara yang sudah cukup dewasa mempunyai hak untuk dipilih serta memilih tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain.
5. Menikmati hak-hak dasar.
Setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk didalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk menikmati kebebasan pers, dan hak untuk berkumpul dan berserikat.
         Dalam segala bentuk pemerintahan, demokrasi tentunya merupakan suatu bentuk yang paling baik, atau paling tidak ia memiliki kelemahan paling sedikit dibandingkan bentuk pemerintahan lainnya.  Bentuk pemerintahan yang demokratislah  yang menjadi substansi dari reformasi dan menjadi kehendak segenap rakyat Indonesia, termasuk pula model kepemimpinan yang hendak diselenggarakan didalamnya. Persoalannya, di tengah derasnya arus demokratisasi ala barat saat ini, bagaimana sebetulnya konsep kepemimpinan yang berlandaskan pada nilai-nilai demokrasi yang bersumber dari nilai dan norma yang dianut oleh Bangsa Indonesia? Penjabaran dari konsep ini nantinya diharapkan akan memberikan pemahaman yang komprehensif tentang kepemimpinan Indonesia di era demokrasi.
          13 tahun telah berjalan sejak reformasi semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara digulirkan, dinamika kehidupan sosial dan politik bangsa saat ini kembali memanas, seiring Pemilu yang sebentar lagi akan dilaksanakan di tahun 2014 mendatang. Pasang surut nilai kepercayaan masyarakat terhadap tatanan politik yang ada dan kepemimpinan yang diselenggarakan terus terjadi. Salah satu sumbernya adalah dimana konstelasi sosial politik yang dilahirkan selama ini, dirasakan masih jauh dari harapan masyarakat secara luas. Malah tak jarang masyarakat dihadapkan pada suatu kondisi yang serba sulit. Infrastruktur dan regulasi yang masih semrawut, degradasi moralitas, sistem politik yang tidak stabil, dan sebagainya adalah kondisi-kondisi yang dihadapi masyarakat saat ini. Karena itu, wajar apabila kemudian masyarakat menuntut perlunya perbaikan dan perubahan yang lebih mendasar dan berkepentingan bagi semua orang.
        Salah satu yang membuat ‘cedera’ bangsa Indonesia saat ini belum sembuh secara total diantaranya adalah masyarakat belum menemukan “satria piningit” (pemimpin) yang mampu membawa masyarakat ke arah yang lebih berarti. Persoalan mendasar dari fenomena tersebut adalah terjadinya degradasi kepercayaan (trusting leader) terhadap pemimpin negara. Alasan sederhana yang dikemukakan adalah pemimpin yang pernah lahir dan sebelumnya dipercaya rakyat, tidak mampu mengangkat kehidupan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Bahkan dalam pandangan sebagian rakyat Indonesia, justru pemimpin-pemimpin yang ada semakin membawa keterpurukan yang sudah terjadi sebelumnya.
Secara sederhana, pemimpin bisa diartikan sebagai seseorang yang dipercaya oleh para pengikutnya (konstituen) untuk mengatasi persoalan yang menyangkut kepentingan orang banyak, memiliki responsibility yang tinggi, memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas, bermoral, tangguh dan berani menghadapi tantangan apapun, disayangi dan disenangi oleh para pengikutnya, dan mampu membawa lembaga atau institusi yang dia pimpin menuju perubahan yang konstruktif. Manifestasi dari seorang pemimpin adalah dia tidak hanya seorang manajer yang handal, namun juga seorang perencana yang baik, melakukan proses kerja secara maksimal dan mampu menunjukkan hasil yang memuaskan banyak pihak. Dan yang terpenting adalah memiliki banyak cara untuk menghadapi persoalan yang timbul. Karena itu, bila dihubungkan dengan sosok pemimpin Indonesia saat ini, kemampuan-kemampuan seperti di atas sepenuhnya belum dimiliki.
Konsepsi dan logika kepemimpinan di era demokrasi Indonesia sekarang mungkin sangat beragam. Hal ini disebabkan konstruksi pemikiran (logika) tentang pemimpin yang dibangun selama ini juga bervariasi antara satu dengan lainnya. Hal tersebut juga tidak terlepas dari pengaruh budaya dari masyarakat atas model kepemimpinan yang mereka pandang. Model kepemimpinan masyarakat Jawa berbeda dengan model kepemimpin masyarakat Sumatera, juga berbeda dengan model kepemimpin masyarakat di daerah lainnya. Di Jawa, misalnya, mereka menganggap kepemimpinan merupakan proses yang sakral dan tunggal. Karena itu, model yang dibentuk lebih didasarkan pada trah dan hubungan keluarga. Anggapan bahwa pemimpin dilahirkan oleh keluarga pemimpin tetap mendominasi ranah berpikir masyarakat. Konsepsi seperti demikian bisa kita lihat dalam model kepemimpinan yang dijalankan mantan Presiden Suharto beberapa tahun yang lalu.
    Hal ini bertentangan dengan konsepsi model kepemimpinan demokrasi yang mensyaratkan adanya sirkulasi kepemimpinan. Setiap orang memiliki peluang yang sama untuk menjadi pemimpin. Dalam konsepsi kepemimpinan demokrasi, logika yang dipakai sebagian besar adalah pengetahuan dan keluasaan wawasan, dan bukan berdasarkan trah dan hubungan kekeluargaan.
               Sayangnya, kecenderungan masyarakat Indonesia masih menganggap persoalan kepemimpinan merupakan ranah yang hanya bisa dimasuki oleh sebagian kecil orang. Dalam kepercayaannya, mereka merupakan orang-orang pilihan dari Sang Maha Pencipta, dan dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat. Persoalan simbolisasi juga merupakan satu hal yang penting bagi kepercayaan yang dianut masyarakat. Simbol-simbol yang dibawa oleh seorang pemimpin sangat berbeda dengan simbol yang dibawa masyarakat awam.

Bab 2
2.1  perlunya pemimpin yang informatif
                    Pemimpin dalam demokrasi dipilih bukan karena dia SUCI danSAKTI MANDRAGUNA, dan seolah-olah tanpa diawasi bisa jalan sendiri dengansempurna,  seolah-olah tidak akan tergoda MELAKUKAN KORUPSI dan kepribadiannya dapat dianggap telah memenuhi semua syarat-syarat yang ada di dalam kitab-kitab kuno zaman kerajaan dahulu kala. Sebaliknya, Pemimpin dalam sebuah demokrasi tidak lebih dari seorang yang sering disebut sebagai PRIMUS INTER PARES (Yang Pertama dari Yang SEJAJAR). Dia bisa anak petani, anak nelayan, anak Pak Haji, bisa juga dari keluarga priyai ataupun keturunan raja-raja. Latar belakang keluarga tidak ada kaitannya dengan kelayakan seseorang menjadi pemimpin publik dalam sebuah demokrasi. Tidak seperti dalam sebuah Monarkhi, demokrasi tidak akan menerima begitu saja setiap kebijakan dan tindakan pemimpin, tanpa memahami dan mengerti tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran dari kebijakan yang dibuat untuk kepentingan masyarakat. Demokrasi tidak mengenal istilah POKOKNYA PERCAYALAH pada ”SAYA”.
 Sebaliknya kita tahu, dalam sebuah sistem kerajaan zaman dulu, misalnya, karena kekuasaan seorang pemimpin atau raja diberikan oleh ”YANG DI ATAS,” maka rakyat dilarang mempertanyakan kebijakan dan tindakan raja atau pemimpin, karena TAKUT KUALAT. Ini tak perlu diteruskan dalam era demokrasi. Ringkasnya, syarat menjadi pemimpin pada era demokrasi ini hanya satu, seorang calon pemimpin dipilih oleh rakyat dalam sebuah mekanisme pemilihan yang terbuka, adil, dan jujur. Konstitusi dan perundang-undangan yang menjadi dasar pemilihannya pun diharapkan merupakan konsensus bersama oleh masyarakat seluas-luasnya. Satu hal mesti diingatkan, karena pemimpin bertugas melaksanakan tugas-tugas publik, maka sebaiknya dapat diatur sejelasjelasnya antara kehidupan publik sang pemimpin dengan kehidupan pribadinya, keluarga dan kelompoknya. Keduanya tidak dapat dicampuradukkan, karena akan terjadi apa yang sering disebut sebagai benturan
kepentingan (conflict of interest). Dalam sebuah negara demokrasi yang sudah maju, maka peraturan-peraturan yang menyangkut pemisahan tugas-tugas publik dan kepentingan pribadi ini dibuat sedemikian jelas dan tegas implementasinya, sehingga kepentingan umum tetap terlindungi, tidak dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok dari Pemimpin yang bersangkutan. Karena dalam konsep demokrasi, kepentingan masyarakat (umum) adalah hukum tertinggi

Pemimpin yang diharapkan di era demokrasi adalah pemimpin yang mampu memberikan informasi yang sejuk, nyaman, akurat, cepat dan dapat dipertanggungjawabnya kepada rakyatnya. Hal ini dimaksudkan agar rakyat tidak dibingungkan dengan informasi yang diterima dengan sumber informasi yang tidak jelas. Sebagai seorang pemimpin, maka semua informasi mengenai organisasinya ada padanya, termasuk informasi yang datang dari luar organisasi. Dengan demikian pemimpin merupakan sumber informasi.
Di era demokrasi ini dibutuhkan pemimpin yang informatif dan dapat diteladani dan menjadi contoh atau panutan dari rakyatnya. Menurut saya, minimal ada tiga yang perlu dimiliki dari seorang pemimpin yaitu:
PERTAMA, keteladanan dalam caranya memposisikan konstitusi, hukum, peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dalam wilayah kepemimpinannya, apakah pada tingkat nasional ataupun daerah. Pemimpin yang patut diteladani adalah pemimpin yang tunduk pada hukum dan perundang-undangan yang sudah ditetapkan melalui proses hukum dan proses politik dan yang demokratis. Konstitusi dan hukum di atas segala-galanya. Di samping itu konstitusi, hukum, peraturan dan perundang-undangan yang masih berlaku wajib hukumnya untuk disampaikan dan disosialisasikan kepada rakyatnya, bukan sebagai jebakan.
KEDUA, keteladanan dalam sikapnya menghadapi permasalahan ataupun tindakannya dalam menghadapi krisis tertentu. Pemimpin yang perlu diteladani adalah pemimpin yang selalu bersikap teguh memegang keyakinan bahwa prosedur dan institusi demokrasi adalah satu-satunya cara menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan kolektif, dengan demikian tidak menutup kemungkinan masuknya kekuatan-kekuatan anti-demokrasi ataupun kekuatan-kekuatan yang menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Prosedur dan Institusi adalah cara menyelesaikan masalah, bukan pemaksaan kehendak dan kekerasan serta tidak pandang bulu. Misalnya, pejabat di daerah yang terindikasi melakukan KKN, aparat harus selidiki jangan kongkalikong agar dapat bagian. Keakraban aparat MUSPIDA jangan diartikan segela sesuatu bisa diatur, tetapi bagaimana agar hukum tidak memandang siapapun.
KETIGA, keteladanan dalam perilakunya yang selalu menghindari cara-cara non-demokratis ataupun melawan hukum dalam melaksanakan kebijakan tertentu ataupun dalam menggunakan sumber-sumber daya pembangunan dalam mencapai tujuan tertentu yang sudah digariskan. Pendeknya, pemimpin yang baik tidak mengahalaIkan segala cara untuk mencapai tujuan tertentu alias jujur dan tidak KKN. 
Mencari sosok pimpinan yang dapat diteladani merupakan pekerjaan yang “susah-susah gampang”, dan seringkali mengandung resiko, mengingat definisi pemimpin mengandung berbagai makna yang terkait dengan pengetahuan, etika, moralitas, keahlian, kredibilitas, serta kemampuan melakukan komunikasi, keluasan visi dan persyaratan-persyaratan lain yang dianggap penting dan perlu dipenuhi oleh seorang pemimpin.
Seorang pemimpin harus memahami keadaan rakyatnya dan harus memiliki empati agar pemimpin tersebut bisa merasakan sebagaimana yang dirasakan rakyatnya. Sebagai contoh, ketika berkunjunga ke suatu daerah yang rakyatnya kurang memahami dari segi bahasa, kita sebagai pemimpin jangan menyampaikan dengan bahasa yang tinggi, dengan menggunakan istilah-istilah asing dan sebagainya, atau setiap kali berkunjung sambutan rakyatnya maunya dibuat semeriah mungkin padahal rakyatnya sangat miskin. Contoh yang lain, ada seorang jama’ah disalah satu masjid mendengarkan tausiah dari seorang Kiyai. Pendek cerita Kiyai tersebut mengatakan barangsiapa yang datang terlebih dahulu sholat berjam’ah ke masjid maka pahala akan lebih besar dari yang datang belakangan. Namun dalam pelaksanaannya sholat jama’ah tersebut belum dilaksanakan karena menunggu Kiyai tersebut datang, yang sekaligus sebagai imam. Nah, jama’ah yang pernah mendengarkan tausiahnya langsung punya pemikiran bahwa apakah benar datang lebih awal itu pahalanya lebih besar dari pada belakangan?, jangan-jangan kita dibohongin, bahwa justru yang datang belakangan pahalanya lebih besar, mengapa?, karena Kiyainya datang belakangan.
Berdasarkan contoh informasi tersebut, ada yang salah, sebagai seorang pemimpin harus mampu memahami dulu kondisi rakyatnya, seperti apa keadaannya, bukan memberikan informasi atau solusi terlebih dahulu sebelum tahu permasalahan yang dihadapi rakyatnya. Ini bukan jaman orde baru lagi, setiap pejabat yang mau datang selalu diservice, sampai jalan saja di tambal sulam.
Satu hal yang perlu penulis sampaikan menjelang PEMILU 2009, bahwa rakyat Indonesia dalam informasi dan komunikasi politik itu masih sangat kurang, oleh karena itu jalan satu-satunya yang harus dilakukan oleh pemimpin ke depan adalah PENDIDIKAN POLITIK harus lebih dikedepankan sebelum melaksanakan pesta demokrasi agar rakyat tidak bingung apa yang harus dilakukan, jangan bisanya mengenal gambar atau nomornya tapi tidak mengenal nomor dan nama serta gambar calon legistalif.

2.2 Kepemimpinan Masa Depan

  Pemimpin masa depan haruslah yang memiliki ciri-ciri kepemimpinan modern, yakni memiliki sema ngat, nilai-nilai, dan pikiran-pikiran modern. Kita tidak boleh lupa pula bahwa bangsa Indonesia memiliki warisan dari para leluhur mengenai prinsip-prinsip kepemimpinan. Banyak di antaranya yang relevan sepanjang masa dan sekarang pun masih digunakan. Salah sebuah konsep kepemimpinan yang merupakan warisan kebudayaan bangsa adalahHastha Brata, atau delapan ajaran keutamaan, seperti yang ditunjukkan oleh sifat-sifat alam.1 Ki Hadjar Dewantara merumuskan kepemimpinan sosial dengan tiga ungkapan yang sangat dalam maknanya: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangunkarso, dan tut wuri handayani.2Apabila ditelaah secara dalam, pesan-pesan leluhur serta asas-asas kepemimpinan yang telah kita miliki itu mengandung nilai-nilai kepemimpinan yang berlaku di segala jaman. Ini merupakan contoh dari nilai-nilai tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern, dan tidak lapuk dan lekang oleh gelombang perubahan apapun. Ini merupakan sifat-sifat kepemimpinan yang universal, yang berintikan suatu nilai bahwa sang pemimpin harus dapat memotivasi dan memberikan keyakinan kepada yang dipimpinnya. Yang dipimpin harus me rasakan kemanfaatan dari kepemimpinannya. Dengan demikian kepemimpinannya akan efektif, dan yang dipimpin dapat menerimanya dengan taat dan ikhlas. Berdasarkan nilai-nilai kepemimpinan seperti itu pada dasarnya bagi bangsa Indonesia
seorang pemimpin harus memiliki tiga sifat, yaitu:
Pertama, ia harus memiliki idealisme, artinya jelas ke mana atau ke arah mana ia ingin membawa yang dipimpinnya. Dalam hal ini wawasan kebangsaan harus menjadi pedomanbaginya.  Pemimpin harus memahami apa yang menjadi tujuan perjuangan, dan menempatkan kepentingan perjuangan dan masya rakat yang dipimpinnya di atas kepentingannya sendiri. Ia harusmemiliki komitmen kepada tujuan perjuangan itu dan senantiasa berupaya mencapainya. Bagi bangsa Indonesia tujuan perjuangan itu jelas. Ia lahir bersama kemerdekaannya dan seluruhsejarahnya. Sifat bangsa Indonesia yang majemuk membuat pemimpin harus mampu menjadi pemersatu. Dalam hal kepemimpinan kebangsaan seorang pemimpin harus menjadi pemimpin bangsa, bukan hanya mementingkan kelompok yang dipimpinnya atau suatu bagian dari bangsa. Seorang pemimpin di Indonesia harus memiliki wawasan kebangsaan dalam pengertian yang lahir pada Sumpah Pemuda tahun 1928.
 Kedua, ia harus memiliki pengetahuan, untuk dapat secara efektif membawa yang
dipimpin ke arah tujuan yang "diidealkannya". Ia harus mengetahui cara memimpin dan menguasai bidang atau tugas dari kelompok yang dipimpinnya. Dengan demikian, ia harus seorang profesional. Ini berarti bahwa seorang pemimpin, bukan hanya mengerti teknik kepemimpina n, tetapi juga menguasai bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
           Ketiga, seorang pemimpin harus menjadi teladan, dan sumber inspirasi. Oleh karena itu, seorang pemimpin diharapkan manusia -manusia yang beriman dan bertaqwa, karena hanya di atas iman dan taqwa, pembangunan yang berakhlak dapat diselenggarakan. Pemimpin juga harus memahami dan menghayati kebudayaan bangsanya.4 Ajaran leluhur dan doktrin kepemimpinan yang telah diungkapkan di atas mencakup sifat pertama dan ketiga, bahkan juga sebagian sifat kedua, yaitu menunjukkan bagaimana seorang pemimpi harus memimpin.Dengan demikian, masalahnya menjadi lebih sederhana. Bukan doktrin atau asasnya yang masih harus dicari tetapi kualitas pemimpin dan kepemimpinan itu yang perlu dikembangkan, agar mampu menjawab tantangan-tantangan masa depan. Masa depan itu sendiri tidak dapat dipisahkan dengan masa kini dan masa lampau. Begitu pula pemimpin masa depan, ia harus dapat berpikir secara menyeluruh melacak seja rah, menapakkan kakinya pada kekinian, serta sekaligus “bertualang” menjelajahi masa depan. Ia harus memperhatikan berbagai kendala masa lalu dan masa kini, tetapi ia pun harus memiliki daya cipta untuk membawa yang dipimpinnya ke dalam kehidupan yang lebih sejahtera lahir batin di masa depan. Ia harus dapat melihat ke belakang, ke dalam masanya, dan ke masa depan, dan memahami semua yang dilihatnya dalam rangka aspirasi bangsanya. Bangsa Indonesia tidak dapat mengharapkan selalu dapat memperoleh pemimpin yang besar seperti Bung Karno dan Pak Harto, yang mempunyai kapasitas individual dan kualitas kepe- mimpinan yang luar biasa, dan tampil bersama dengan peran yang historis dan teramat menentukan dalam perjalanan bangsa. Namun, dari kedua beliau itu, kita dapat belajar mengenai bagaimana sosok pemimpin bangsa yang tepat untuk masanya.


Penutup

Perkembangan ekonomi dunia serta persaingan yang makin tajam membuat pemimpin
bangsa di masa depan harus memiliki pengetahuan yang memadai mengenai tata hubungan
internasional dan mengenai bekerjanya mekanisme ekonomi dunia. Para pemimpin bangsa nantiharus memiliki kemampuan untuk membawa bangsa ini untuk memenangkan persaingan yangsangat diperlukan untuk kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Tidak ada bangsa yang dapat
mengisolasikan diri dan tidak tergantung kepada hubungan internasional. Pemimpin modern
dengan demikian harus mempunyai minat dan pengetahuan yang cukup mengenai hal ikhwal yang terjadi di luar batas kepentingan bangsanya sendiri yang langsung. Ia harus memiliki jiwa kemanusiaan dan perhatian (concern) terhadap masalah-masalah kemanusiaan.Dengan berbekal wawasan kebangsaan para pemimpin masa depan harus mampu memelihara kedaulatan dan kehormatan bangsa di antara masyarakat bangsa-bangsa di dunia.
Selain kekuatan yang dimiliki suatu negara baik dalam bidang politik, ekonomi, atau militer, kualitaskepemimpinan dalam suatu bangsa juga mempengaruhi martabat bangsa itu dalam pergaulan internasional.Secara keseluruhan pemimpin masa depan adalah pemimpin yang harus membangun bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan mandiri. Kemajuan dan kemandirian ini harus menjadi landasan serta modal untuk membangun bangsa yang adil dan makmur, yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Singkatnya, kepemimpinan modern, di samping memiliki sifat-sifat tradisional,  yang melambangkan moral kepemimpinan bangsa, juga harus merupakan sosok modern. Pemimpin yang demikian adalah seorang yang memiliki wawasan kebangsaan, jiwa kerakyatan, kemampuan profesional, memiliki wawasan masa depan, inovatif, dan rasional. Ia harus mampu di satu pihak memahami masalah-masalah yang kompleks, dan di pihak lain mampu menemukan pemecahan yang sederhana dan mudah dipahami serta dilaksanakan bagi pemecahan masalah-masalah yang kompleks itu. Ia bukan hanya harus berani mengambil risiko, tetapi juga mampu menghitung risiko.

Bagaimana bisa menemukan pemimpin serupa itu, itu suatu persoalan yang harus bisa
dijawab. Tentu saja di sini saya berbicara tentang pemimpin pada berbagai tingkat dan bidang
dalam masyarakat yang semuanya membentuk struktur yang kukuh beralaskan wawasan
kebangsaan yang saya sebutkan itu. Seperti dikatakan tadi, pemimpin bisa dibuat. Bahkan acapkali dikatakan pemimpin adalah cerminan masyarakatnya (you deserve your leader), atau pemimpin adalah "produk budaya" masyarakatnya. Maka sungguh penting menanami lahan yang subur dari sejak sekarang untuk menumbuhkan bibit-bibit kepemimpinan seperti yang dikehendaki. Di sini peran pendidikan nasional teramat penting, baik yang diselenggarakan di sekolah, dalam masyarakat, maupun di lingkungan keluarga. Melalui sistem pendidikan akan tampil dan ditempa pemimpin-pemimpin masa depan. Oleh karena itu, kualitas pendidikan menentukan pula kualitas pemimpin masa depan.


Daftar pustaka
LEADERSHIP  Penulis: TIM The Ary Suta Center   (The Ary Suta Center
Materi  pelatihan kepemimpianan
Robbins S., 1996 Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and Applications., San Diego State Uniersity, Prentice Hall International Inc.
Robbins S., 1996 Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi, San Diego State University, diterbitkan oleh PT Prenhalinddo, Jakarta.

Emotional quotation penulis Ary Ginanjar Agustiar

massofa.wordpress.com/2008/02/05/teori-kepemimpinan - 198k

idilakbar.blogspot.com/.../kepemimpinan-dalam-era-demokrasi.h
burukab.go.id/web/index.php?option=com_conten
www,politik dan pertahanan negara.com