Islam inklusif sebuah upaya mengrekontruksi kesadaran teologis

Jumat, 29 Juli 2011

Oleh: Tutur Ahsanil Mustofa
BAB II
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah
إِنَّ الَذِيْنَ ءَامَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالصَّابِئُوْنَ وَالنَّصَارَى مَنْ اَمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَاهُمْ يَحْزَنُوْنَ.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. al-Maidah: 69)

Sebelum kita jauh membahas Islam Inklusif, kita patut menelaah ulang ayat Al-quran diatas. Menurut Fazlurohman “Mayoritas komentator muslim dengan sia-sia telah berusaha untuk tidak menerima maksud yang jelas sekali dinyatakan oleh ayat diatas: bahwa orang-orang dari kaum manapun juga yang mempercayai Allah dan Hari Kiamat serta melakukan amal kebajikan akan memperoleh keselamatan. Komentator-komentator tersebut mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabi’in yang telah masuk Isalm. Penafsiran yang seperti ini jelas salah. Karena seperti yang terlihat dalam ayat diatas, orang Muslim adalah orag yang pertama dari keempat kelompok dari orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir….” Selanjutnya komentator-komentator tersebut mengatakan bahwa mungkin pula yang dimaksud dengan orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabi’in itu adalah orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabi’in yang shaleh sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW ini juga penafsiran yang lebih salah.[1]
Menurut Rahman, interpretasi yang diberikan para mufassir terhadap ayat tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua: pertama, yang dimaksud dengan Yahudi, Kristen dan Sabi’in dalam ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabi’in yang telah masuk Islam, kedua, yang dimaksudkan dengan orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabi’in itu adalah orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabi’in yang shaleh sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW. Menurutnya, kedua penafsiran itu jelas salah dan tampaknya para mufassir berusaha menolak maksud yang sudah jelas dimaksudkan oleh ayat tersebut, yaitu orang-orang yang beriman, orang-orang Kristen, Yahudi dan Sabi’in, asalkan mereka percaya kepada Tuhan, Hari Aakhir dan melakukan kebajikan, maka mereka akan mendapatkan keselamatan pula[2], jadi petunjuk dan keselamatan itu bersifat universal, tidak terbatas pada kaum dan bangsa tertentu.[3]
Pada 1970-an, Indonesia melewati suatu keadaan yang penting, yang belum banyak dibahas dalam sejarahnya sebagai bangsa merdeka. Yaitu dasa warsa dimana Indonesia menyaksikan, untuk pertama kalinya, munculnya sejumlah besar pelajar yang telah selesai study dari beberapa Universitas. Yang relevan dengan pembicaraan kita adalah kenyataan bahwa sebagian besar lulusan berlatar belakang kultur Islam. Tentu saja akan membawa beberapa masalah. Jika, sebagaimana sering dinyatakan oleh pemimpin-pemimpin Islam, mayoritas penduduk Indonesia memeluk Islam, maka mengatakan bahwa sebagian besar lulusan universitas itu Muslim,  adalah berlebihan. Namun, kenyataannya ialah hal itu ada benarnya juga, sebab para pengamat melihat adanya perbedaan antara muslim “sejati” dan muslim  “nominal”.   Dengan demikian, mengatakan bahwa sebagian besar lulusan itu adalah muslim berarti mengatakan bahwa mereka adalah muslim “sejati”, apapun kiranya makna istilah “sejati” tersebut.[4]
Pemetaan menarik tentang Islam dilakukan oleh Kang Jalal, sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat. Ia mengenalkan 2 katagori: Pertama, “Islam Konseptual” yakni konsep Islam yang berupa nilai-nilai yang terdapat dalam al-Quran, Sunnah Nabi, narasi buku-buku dan ceramah-ceramah keIslaman. Kedua, “Islam Aktual” yakni nilai dan etos keIslaman yang teraktualisasi dalam prilaku pemeluknya. Boleh saja kita mendasarkan laku hidup kita pada Islam Konseptual yang membenci kemungkaran, kezaliman, ketidak-adilan. Tetapi konsep ini tidak akan dapat menghilangkan sistem-sistem “kemungkaran” itu. Islam Aktuallah yang dapat mengubah kehidupan seseorang dan sejarah dunia. Dengan kata lain “Kekuatan kaum Muslim terletak dalam tindakan mereka, bukan pada teks-teks suci yang mereka yakini”.
Selain pembagian Islam menurut kang Jalal yang telah disebutkan diatas, perlu kita ketahui dan pahami konsep Islam Inklusif yang dicoba ditawarkan oleh Nurkholis Majid (Cak Nur) dan kawan-kawannya seperti Zainun Kamal,Azumardi Azra, Ulil Abshor Abdallah, Budhi Munawar Roman. Konsep ini menawarkan suatu konsep yang tidak menjadikan perbedaan agama sarana anarkisme antar agama. Juga Konsep keberagamaan yang didasarkan pada pandangan bahwa agama-agama yang ada di dunia ini mempunyai tujuan yang sama, mengandung kebenaran dan keselamatan bagi para penganutnya. Apabila kita telaah lebih lanjut tidak akan pernah kita jumpai suatu agama yang tidak berpihak kepada kebenaran atau selalu menyuruh umatnya untuk berbuat kedzoliman, apalagi tidak memberikan jaminan keselamatan kepada penganutnya ketika sudah menemui ajalnya.
Islam Inklusif merupakan sebuah pandangan yang mengajarkan tentang sikap terbuka dalam beragama, khususnya dalam menjalin hubungan dengan selain Islam (Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu). Sikap terbuka akan berdampak pada relasi sosial yang bersifat sehat dan harmonis antar sesama warga masyarakat. Konsep Islam Inklusif ini juga mencoba meminimalisir atau bahkan menghilangkan tindak anarkisme antara agama, kita sering mendengar dan melihat berita di media cetak atau media elektronik tentang pembakaran tempat ibadah yang dilakukan oleh salah satu penganut agama tertentu, dikarenakan kurangnya komunikasi antara penganut agama yang berbeda tersebut. Lain lagi pemboman tempat-tempat ibadah yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu dari salah satu penganut agama yang ada di Indonesia khususnya. Kejadian-kejadian seperti diatas tidak akan pernah terjadi kalau antara umat beragama yang ada di Indonesia Khususnya menjalin silaturahim yang baik dan menghilangkan rasa yang menganggap hanya salah satu agama tertentu yang benar dan yang lain adalah salah atau bahkan harus dimusnahkan.
B.       RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan indentifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah Sebuah Konsep Tentang Islam Inklusif  Sebagai Upaya Merekrontruksi Kesadaran Teologis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Islam dan Inklusif
Istilah Islam telah banyak didefinisikan oleh para ahli, di antaranya oleh pakar bahasa, Imam Raghib al-Isfahqani. Istilah Islam menurutnya ada dua macam : Pertama, di bawah iman, yakni mengakui dengan lidah saja, dengan begitu darahnya terpelihara. Tidak jadi soal apakah keyakinan masuk ke dalam hatinya atau tidak. Kedua, di atas iman, yakni bersamaan dengan pengakuan lisan, juga dalam hati, dan diamalkan dalam perbuatan dan penyerahan diri kepada Tuhan dalam segala hal yang telah Dia tentukan dan tetapkan. Sebagaimana, yang diingatkan dalam kisah Ibrahim di dalam ayat suci Al-quran:
,إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ اَسْلِمْ قَالَ اَسْلَمْتُ لِرَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
Artinya: Ketika Tuhan berkata kepadanya, “Islamlah (pasrahlah)”, Ibrahim berkata, “Aku pasrah kepada Pemelihara Seluruh Alam.” (Q.S. al-Baqarah ayat: 131).[5]
Berdasarkan definisi di atas, bila dikaitkan dengan keberagamaan seseorang, maka ada dua tipe makna Islam: ada Islam formal (yang lahiriyah saja), dan menjadi motif sebagian agama yang tidak murni, dan ada Islam yang riil (al-Is lam al-Haqq), yakni Islam yang sebenarnya. Dengan demikian, Islam sangat berbeda sekali dengan agama-agama tersebut meski Islam dibawa oleh Nabi Muhammad, tetapi penamaanya tidak diambil dan diperuntukkan kepada seorang laki-laki khusus dan tidak kepada umat tertentu, akan tetapi kata Islam menunjukan sifat yang khas yang dikandung oleh makna Islam itu sendiri. Maka siapa saja yang berhias dengan sifat ini, bagi manusia di zaman lampau atau masa sekarang dia adalah dinamakan muslim. Tanpa harus melacak makna kata Islam dari kata-kata asalnya seperti salam, silm, dan sebagainya, kita akan mengutip apa yang disebutkan di dalam kamus-kamus bahasa Arab tentang makna Islâm. Dan diantaranya Islam berasal dari kata aslama yang berarti:
Ø  Sama dengan sallama, yang artinya menyerahkan sesuatu, menyerahkan diri pada kekuasaan orang lain, meninggalkan orang di bawah kekuasaan orang lain, meninggalkan (seseorang) bersama (musuhnya), berserah diri kepada (Tuhan); menurut Al-Shihhah, al-Qamûs, al-Muhkam, al-Mishbâh, Ibn Atsîr, Taj al-Arûs.
Ø  Membayar di muka, seperti dalam kalimat aslama fi al-tha’âm; menurut Al-Shihhah, al-Muhkam, al-Mughrib, al-Mishbah.
Ø  Sama dengan kata istaslama: Menyerah, menyerahkan diri, pasrah; memasuki perdamaian; menurut Al-Shihhah, al-Muhkam, al-Mishbah, al-Qamûs.
Ø  Sama dengan tasallama: menjadi Islam. Al-Shihhah dan al-Mishbah men-definisikan Islam sebagai “ungkapan kerendahan hati atau kepasrahan dan ketaatan secara lahiriah kepada hukum Tuhan serta mewajibkan diri untuk melakukan atau mengatakan apa yang telah dilakukan dan dikatakan oleh Nabi saw”. Bila ketaatan itu juga diikuti dengan hati, maka ia disebut iman. Ini menurut madzhab Syafi’I; tetapi menurut madzhab Abu Hanifah, tidak ada perbedaan antara kedua istilah itu. [6]
Ø  Aslamtu ‘anhu, yang artinya aku meninggal-kannya setelah aku terlibat di dalamnya; seperti di dalam kalimat kâna râ’iya ghanamin tsumma aslama.[7]
Jadi jika kita merujuk beberapa kamus Al-Quran , kita menemukan makna asal aslama adalah patuh, pasrah, atau berserah diri. Beberapa kamus Al-Quran lainnya yang lebih klasik tidak secara eksplisit menyebutkan makna asal ini, tetapi menyebutkan tingkatan-tingkatan Islam, yang menunjukkan sebenarnya pada tingkatan kepasrahan.
Kata yang kedua, yaitu kata inklusif. Secara etimologi kata inklusif mempunyai arti terhitung, komprehensif, penuh, global dan menyeluruh. Kata inklusif merupakan bentuk kata jadian yang berasal dari bahasa Inggris “inclusive” yang memiliki makna “termasuk didalamnya”.
B.       Pengertian Islam Inklusif
Islam inklusif adalah paham keberagamaan yang didasarkan pada pandangan bahwa agama-agama lain yang ada di dunia ini sebagai yang mengandung kebenaran dan dapat memberikan manfaat serta keselamatan bagi penganutnya. Disamping itu, ia tidak semata-mata menunjukkan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, melainkan keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Secara perlahan-lahan paradigma eklusif dalam beragama mulai ditinggalkan, karena tantangan etika kini lebih nyata dari pada tantangan teologis. Agama-agama dunia mulai mengadopsi sikap inklusif yang terbuka dan mau mengerti pengalaman beragama umat lain. Dialog adalah kata kunci didalamnya. Bagaimana dialog antar agama itu dilakukan? Adakah tokoh yang bisa diteladani dalam sikap inklusifismenya? Bagaimana pergeseran paradigma itu bisa terjadi? Dan seperti apakah Islam yang inklusif itu?[8]
 Islam Inklusif atau Islam Rasionalis merupakan sebuah sekumpulan orang yang menganut pandangan bahwa semua agama-agama yang ada  semuanya memiliki kebenaran dan memberikan manfaat dan keselamatan bagi para penganutnnya, sebagaimana di Indonesia banyak terdapat beraneka ragam agama yang diakui dan banyak penganutnya.  Dalam artian lain bahwa, Islam Inklusif mempunyai pandangan bahwa agama-agama yang ada di sekeliling kita semuanya memiliki kebenaran yang sama, yaitu sama-sama mempunyai tujuan yang sama yaitu kepada Allah. Hanya saja cara menuju kepada Allah yang berbeda antara agama yang satu dengan agama yag lainnya.[9]
Pemikiran Alwi Shihab mengenai pergeseran agama-agama ke paradigma inklusif dan respon Islam dalam menghadapinya. Alwi, adalah tokoh dan wakil Muslim Indonesia yang paling tepat untuk berbicara mengenai soal ini. Fokus pemikiran Islam Inklusif dan Pluralis ini meliputi seluruh persoalan interaksi agama, terutama antara Islam dan Kristen, sejak awal pertemuannya hingga sekarang saat ini. Islam Inklusif yang ditawarkan sangat kukuh, dewasa, dan rasional, sebuah Islam yang mampu membawa umatnya memasuki millenium baru dengan sikap terbuka dan penuh percaya diri.[10]
1.         Analisis
a)        Harapan berkembangnya Islam Inklusif di Indonesia
Masih adakah harapan bagi berkembangnya Islam inklusif di Indonesia? Pertanyaan ini penting dikemukakan sebagai refleksi akhir tahun, mengingat dalam satu tahun terakhir ruang keberagamaan di tanah air pengap kekerasan dan keberingasan. Tahun-Tahun yang lalu sampai sekarang seolah menjadi antiklimaks dari mandulnya gerakan Islam yang mengkampanyekan  pola keberagaman Inklusif dan Humanis. Banyak kalangan menyebutkan, Islam Inklusif telah sekarat (dying) atau, minimal, kekurangan darah sehingga nampak lesu tak berdaya berhadapan dengan kelompok-kelompok radikal. Tragedi ledakan dahsyat di legian, kuta, Bali, dan disusul peristiwa serupa di Makassar, membukakan mata kita akan ancaman nyata pola keberagaman ekslusif yang menolak keragaman  karena merasa monopoli kebenaran. Watak antipluralis kelompok ini memunculkan pandangan takfir (mengafirkan orang atau kelompok lain yang punya pendapat berbeda) dan menghalalkan kekerasan untuk syiar agama.[11]
Namun demikian, kita tak perlu terlalu pesimistis. masih ada secercah harapan apabila kita betul-betul memanfaatkan momentum saat ini untuk merancang agenda Islam Inklusif dan pluralis yang lebih terencana dan militan. Memang, persoalan Islam inklusif dan pluralis yang lebih terencana dan militant. Persoalan Islam inklusif adalah kurangnya militansi dalam memperjuangkan gagasan ini sampai ke masyarakat akar rumput. Hingga kini, gagasan Islam inklusif terkesan elitis dan kurang membumi. Akibatnya, mayoritas masyarakat Indonesia yang dikenal moderat dan toleran tetap menjadi silent majority (mayoritas yang diam). Kerena itu, diperlukan kampanye massif untuk menggerakan silent majority ini menjadi kekuatan garda depan dalam mempresentasikan Islam Indonesia yang ramah dan progresif.[12]
b)       Penerapan Islam Inklusif di Indonesia
Di Indonesia sendiri sangat mungkin untuk diterapkan dan digalakan lagi konsep tentang Islam Inklusif ini yang sebelumnya hampir musnah ditelan bumu. Apalagi Saat ini momentum untuk itu sangat terbuka. Pertama, kelompok-kelompok radikal sekarang berada di persimpangan jalan yang membingungkan. Bahkan, bisa dikatakan, mereka sesungguhnya berada dalam posisi ”tertuduh” sehingga Nampak tak berkutik. Barisan mereka saat itu terlihat kocar-kacir tak beraturan, sehingga jaringannya tak lagi solid dan cenderung mengelak untuk dikaitkan satu sama yang lain. Pembubaran laskar jihad atau pembekuan aktifitas Front pembela Islam (FPI) jelas menunjukkan betapa kacaunya barisan mereka setelah terjadinya kasus Tragedi Monas 2008.
Disadari atau tidak, kelompok-kelompok keagamaan garis keras menghadapi kesulitan karena manuver yang dibuatnya sendiri. Laskar Jihad,  misalnya, membubarkan diri karena dirasakan adanya penyalahgunaan nama agama untuk kepentingan non-agama. FPI menghadapi persoalan serius menyusul penahanan ketua umumnya, Habieb Rizieq, dengan tuduhan pengrusakan tempat-tempat hiburan, dan akhirnya memutuskan untuk membekukan diri. Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) juga menghadapi pressure yang sama setelah ketuanya, Abu Bakar Ba’asyir ditangkap dengan tuduhan terlibat berbagai peledakan dan perencanaan pembunuhan presiden Megawati Soekarnoputri beberapa tahun yang lalu dan merupakan kasus terbesarnya.
Kedua, dukungan publik yang begitu besar untuk memerangi segala bentuk kekerasan atas nama agama, yang sekarang lebih akrab dengan sebutan terorisme. Dukungan tersebut bahkan juga melibatkan tokoh-tokoh agama yang seperti disampaikan Gerakan Moral Nasional, forum yang beranggotakan para tokoh agama, tokoh masyarakat dan adat, mendukung upaya pemerintah memerangi terorisme di tanah air. Dukungan bertajuk pesan moral bersama memasuki bulan suci Ramadhan dan menjelang Minggu-minggu Advent dan hari natal 2002 yang dibacakan T.P. Lambe dari PGI di kantor PP Muhammadiyah, ditandatangani oleh Ketua Umum PB NU. K.H. Hasyim Muzadi, Ketua PP Muhammadiyah A. Syafi’I Ma’arif, ketua KWI Kardinal Darma Atmaja, ketua PGI Pdt. A.A. Yewangoe, dan Nurcholish Madjid itu. Gerakan moral Nasional juga menghimbau agar setiap langkah yang diambil dalam memeangi terorisme tetap memperhatikan hak asasi manusia.
Dukungan tokoh-tokoh agama itu sangat signifikan, karena mencerminkan kesadaran akan ancaman pola keberagamaan eklusif dan bahayanya bagi perkembangan demokrasi di negeri ini. Dalam alam demokrasi, semua ekspresi keagamaan diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang. Dan , justru karena demokrasi bentuk-bentuk keberagaman seperti FPI, Laskar Jihad, atau MMI dapat berkembang dengan subur. Namun, demokrasi memberi ruang yang sama kepada bentuk dan warna keberagamaan yang lain, sehingga tidak ada yang memonopoli kebenaran untuk kemudian memaksakan kebenarannya kepada pihak lain.
c)        Konsep teologi Islam Inklusif dan Aplikasinya
Teologi inklusif yang dikandung dalam ajaran Islam menganut prinsip-prinsip moderat. Penegakkan kebenaran harusnya dilakukan dengan jalan kebenaran pula, bukan dengan jalan kekerasan. Kemauan untuk menghormati agama lain adalah perwujudan dari sikap moderat. Sikap moderat seperti ini tidak berarti  bahwa kita tidak konsisten terhadap agama, melainkan penghormatan akan seseorang. Semangat inklusif memiliki semangat mencari kebenaran dan mendialogkannya. Pantang menggunakan kekerasan dalam menegakkan kebenaran. Lebih bersikap terbuka ketimbang keras kepala, baik dalam menerima kebenaran yang ada dalam agama non-Islam, maupun bersama-sama membangun masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Teologi Islam yang inklusif adalah rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) teologi tersebut adalah pilar moderatisme Islam. Disini, ajaran Islam tidak diarahkan kepada eksklusifisme seperti membenci agama lain, merendahkan non-muslim, atau memusuhi dan menggunakan kekerasan dalam menyiarkan kebenaran, bahkan Islam inklusif menyiarkan toleransi beragama dan juga kerja sama. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk berinteraksi dan aksi. Sejak awal Islam selalu menganjurkan untuk merangkul non-muslim bekerja sama membangun masyarakat, maka dengan sendirinya Islam mempromosikan perdamaian bukan kekerasan.
Dalam Negara demokrasi, segala bentuk ekspresi keagamaan memiliki hak untuk berkembang, namun ekspresi keagamaan yang mengancam demokrasi tentunya tidak boleh diberi ruang, karena ia adalah musuh demokrasi itu sendiri. Yang perlu dilakukan sekarang adalah upaya terencana untuk menggiring inklusifisme agama kearah realitas pengalaman baru yang menempatkan agama sebagai kekuatan moral membendung kekerasan dan terorisme. Hal ini bisa dimulai dengan membuka wacana keberagamaan yang memberi ruang kebebasan individu untuk memilih dan mengembangkan keyakinan pribadinya.
Langkah selanjutnya adalah mendorong penerimaan atas keberagaman organisasi keagamaan yang berfungsi sebagai unit yang kompetitif (competitive units). Jika inipun sudah cukup kokoh, maka kerjasama antar agama menjadi suatu yang niscaya akan saling berinteraksi. Otoritas-otoritas kemasyarakatan dapat diharapkan berkolaborasi untuk secara bersama-sama menyelesaikan isu-isu mendesak, seperti kebodohan, kemiskinan, kekerasan domestik, ketidak-adilan gender, penindasan kaum minoritas atau kerusakan lingkungan dan kultural.
Masalah inklusif dalam Islam merupakan kelanjutan dari pemikiran/gagasan neo-modernisme kepada wilayah yang lebih spesifik setelah pluralisme, tepatnya pada bidang teologi. Gagasan tersebut berangkat, bahwa teologi kita pada saat ini seperti sudah di atur dalam kerangka teologi yang menganggap bahwa kebenaran dan keselamatan (truth and salvation) suatu agama, menjadi monopoli agama tertentu.  Cara pandang suatu komunitas agama (religious community) terhadap agama lain, dengan menggunakan cara pandang agamanya sendiri. Islam inklusif merupakan sebuah pandangan yang mengajarkan tentang sikap terbuka dalam beragama dan dengan berhubungan dengan agama non-muslim. Sikap terbuka akan berdampak pada relasi sosial yang bersifat sehat dan harmonis antar sesama warga masyarakat. Teologi inklusifisme ini dilandasi dengan toleransi, itu tidak berarti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran hanyalah suatu sikap penghormatan akan kebebasan dan hak setiap orang untuk beragama, perbedaan beragama tidak boleh menjadi penghalang dalam upaya saling menghormati, menghargai, dan kerjasama.[13]
d)       Pentingnya merekrontruksi ulang kesadaran teologis kita
Pada abad sekarang ini, manusia akan semakin sadar akan kemampuannya untuk mengarahkan jalannya sejarah. Kalau mereka melakukannya dengan penuh kesadaran, mereka tidak akan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan mereka sendiri, tidak akan mengubah diri mereka menjadi masyarakat robot-robot yang mekanis (dehumanized society) dan otomat-otomat bikinan pabrik, tetapi akan berjuang bagi nilai-nilai kemanusiaan masa depan masyarakat. Kesadaran umat manusia sekarang, bahwa kemakmuran mutlak tidak boleh kehilangan segi-segi kemanusiaan, merupakan gejala terpenting yang sedang berkembang pada abad kini. Kemanusiaan tidak hanya berkepentingan pada pengembangan-pengembangan kekuatan produktif dan teknologi, tetapi juga pada makna hubungan-hubungan sosial manusia dan budi pekerti.[14]
Jika disebutkan bahwa tingkatan ini (perspektif yang jauh) agama dapat memberikan jawabannya, maka yang dimaksudkan ialah agama yang dihayati secara spiritual dan mendalam dengan penuh kedewasaan oleh pengikut-pengikutnya. Penghayatan itu menjadi amat individual sifatnya. Maka perlu sekali dilakukan apa yang telah dipaparkan dimuka: mengembalikan Islam sebagai agama individu, membebaskan para pengikutnya dari kecenderungan sektarianistis, dan melepaskan sifat-sifatnya yang seolah-olah merupakan organized religion. Konsistensinya ialah kita harus berusaha menangkap dan memenuhi fungsi-fungsi di balik formalitas-formalitas ritual, sehingga agama tidak menjadi sekedar upacara-upacara yang kehilangan artinya, sakralnya dan kosong, khususnya untuk suatu masyarakat yang semakin terpelajar dan kritis karena proses pembangunan dan industrialisasi. Meminjam ungkapan seorang kawan (Syu’bah Asa), maka dalam menghayati religiusitas, rasanya kita perlu menjadi mutasyawif-mutasyawif , tanpa memasuki dunia tasawuf, atau kebatinan yang ekstrem.[15]
Slogan “kembali kepada Al-Quran dan sunnah” tentu tidak mengandung masalah penolakan atau penerimaan. Tetapi segi pelaksanaannya akan berbeda. Sebab disini menyangkut tingkat pengetahuan dan pengertian : menyeluruh atau parsial, eksentuasi  yang tepat atau tidak, latar belakang pendidikan, lingkungan dan kepentingan (interest). Juga perlu diteliti apakah seruan pembaharuan yang kini banyak dibicarakan dapat disimpulkan sebagai hendak melaksanakan “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok”. Kita tentu menerima ajaran itu, tapi hanya sampai taraf sebagai jargon. Dan begitu kita ajukan problem-problemnya beserta kemungkinan-kemungkinan pemecahannya dalam pelaksanaan, maka segera timbul reaksi setuju dan tidak setuju. Ini pun amat banyak bergantung pada faktor-faktor latar belakang tadi, termasuk pendidikan. Maka setelah iman, ilmulah yang akan meningkatkan martabat kemanusiaan kita.[16]
Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Bukan ajarannya, melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri, yang meliputi kelembagaannya. Mula-mula seorang nabi pembawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti (khalifah) meneruskan kepemimpinannya secara berturut-turut. Pergolakan hebat akhiranya berujung pada sistem pemerintahan monarkhi.
Begitu banyak perkembangan terjadi. Sekarang ada sekian republik dan sekian kerajaan mengajukan klaim sebagai “Negara Islam”, dengan ideologi politik yang bukan saja saling berbeda, melainkan saling bertentangan dan masing-masing menyatakan diri sebagai “Ideologi Islam”. Jika dibidang politik terjadi “pemakaran” serba beragam, walau sangat sporadic, seperti itu, apalagi di bidang-bidang lain. Hukum agama masa awal Islam kemudian berkembang menjadi fiqh, yurisprudensi karya korps ulama pejabat pemerintah (qodi, mufti, dan hakim) dan ulama “non-korpri”. Kekayaan sangat beragam itu kemudian disistematisasikan ke dalam beberapa buah mazhab fiqh, masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum (legal theory) tersendiri. Terkemudian lagi muncul pula deretan pembaruan yang radikal, setengah radikal, dan sama sekali tidak radikal. Pembaruan demi pembaruan dilancarkan, semuanya mengajukan klaim memperbaiki fiqh dan menegakkan “hukum agama yang sebenarnya”, dinamai syariah. Padahal kaum pengikut fiqih dari berbagai mazhab juga menamai anutan mereka dengan syariah.
Gus Dur mengakui bahwa sejak tiga dasa warsa terakhir ada pergeseran yang cukup berarti dalam gerakan-gerakan bermotif keagamaan, dimana aspirasi keagamaan dipadukan dengan ideology revolusioner atau dengan pemahaman keadaan yang bersifat struktural. Apa yang dapat dibaca dari pergerakan-pergerakan seperti pan-Arabinya Nasser, revolusi Islam Iran, Teologi pembebasan, gerakan gereja Kristen di Korea Selatan, dan juga gerakan rakyat di bawah naungan Gereja Katolik yang akhirnya mampu menggulingkan Marcos menunjukkan adanya suntikan-suntikan ideologi revolusioner kedalam aspirasi keagamaan. Dengan demikian, kita melihat pada gerakan-gerakan itu adanya militansi keberagamaan yang revolusioner dalam wawasan dan watak. Meski begitu, menurut Gus Dur, watak revolusioner tersebut ternyata hanya sebatas pada wawasan saja, belum menjadi sesuatu yang programatik dan didukung oleh ba ngunan institusional yang sesuai dengan kebutuhan melaksanakan revolusi.[17]
Ketika memasuki “ruang programatik”, yang secara rill tampak dengan jelas sesuai perombakan struktur berhasil dilakukan, gerakan-gerakan itu hampir selalu menghadapi persoalan yang sama, yakni kesimpang siuran pendapat dalam merumuskan kerangka, sasaran, dan lingkup kiprah yang harus dilakukan, disamping perbedaan mendasar dalam menilai keadaan. Dalam konteks seperti itu,Gus Dur, revolusi menjadi segala-galanya; nuansa kultural sering dilihat dari sudut pandang “menguntungkan atau merugikan revolusi”, bukan dari sudut pandang keberadaan nuansa itu sendiri berikut haknya untuk tetap hidup. Dengan demikian, keragaman akan dikorbankan untuk kepentingan revolusi. Revolusi Islam Iran adalah contoh paling menarik untuk hal ini, dimana revolusi yang semula dimiliki banyak kekuatan sosial-politik, akhirnya hanya menjadi milik kaum Mullah yang tentu melahirkan penggusuran terhadap pihak-pihak lain dalam percaturan politik berikutnya. Dengan demikian, revolusi gerakan keagamaan yang semula untuk menerjemahkan Islam yang rahmatan li al-alamin justru melahirakan pengingkaran terhadapnya, sebuah revolusi yang hanya melahirkan kehidupan eklusif.[18]
Untuk menjalani dan melewati segala apa yang telah dipaparkan di atas, kalau menurut Gus Dur tidak lain hanyalah dengan kesadaran. Kesadaran itu muncul dari banyak sebab. Diantaranya adalah kekecewaan terhadap kebangkrutan teknologi dan ilmu pengetahuan modern, yang diredusir kedudukannya menjadi hamba kekuasaan modal saja, tanpa membawa perbaikan mendasar atas tingkat kehidupan manusia. Juga kekecewaan melihat terbatasnya kemampuan umat manusia untuk mencari pemecahan hakiki atas persoalan-persoalan utama yang dihadapinya. Tidak kurang pentingnya adalah juga kekecewaan mereka terhadap kegagalan elit kaum muslimin di seluruh dunia, yang tidak mampu meningkatkan derajat agama mereka dihadapan tantangan “pihak luar” terhadap Islam. Dapat dimengerti kalau kesadaran itu juga mempunyai imbas fisiknya atas perilaku para remaja muslim di mana-mana, termasuk mereka yang lalu memelihara jenggot dan memakai kerudung. Perilaku seperti itu tidak sepatutnya diremehkan dan disepelekan karena ia merupakan bagian dari kesadaran untuk menegakkan Islam sebagai “jalan hidup”. Boleh kita tidak setuju dengan aspirasi holistic seperti itu, namun dihargai sebagai upaya untuk menemukan Islam dalam kebulatan dan keutuhan, jadi motifnnya berwatak transendental.[19]
Di samping itu, selain Islam yang inklusif, Negara Islam, gerakan keagamaan, Cak Nur menggunakan argument fitrah yang juga sebagai tujuan rekonstruksi kesadaran teologis. Dimana hal itu berasal dari Ibn Taimiyah guna menegaskan universalitas nilai-nilai kemanusiaan dan agama. Argument fitrah juga digunakannya untuk mendukung suatu humanisme religious yang ditawarkannya, meskipun Cak Nur sebenarnya juga mengemukakan perlunya humanism religious yang tertarik dari cerita Adam dan Hawa. Kejatuhan kedua orang ini dari jannah, menunjukkan bahwa akal manusia tetap memerlukan bimbingan agama.
Tetapi keniscayaan humanisme religious berdasarakan argument fitrah lebih jelas dikemukakan Cak Nur dalam pengantar bukunya Islam,Doktrin dan Peradaban. Dalam buku ini Cak Nur bercerita bahwa pada 1985 dia mendapat kesempatan untuk menyampaikan ceramah Maulid Nabi di istana Negara. Dalam ceramahnya itu, Cak Nur mencoba memaparkan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh Islam. Usai ceramah, Cak Nur mendapatkan sambutan positif dari para pendengar yang hadir. Tetapi, diantara mereka ada yang menanyakan: “mengapa nilai-nilai kemanusiaan universal itu harus dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan keagamaan?” “agama adalah kelanjutan “natur” manusia sendiri, merupakan wujud nyata dari kecenderungan alaminya.” Dengan kata lain, agama adalah kebutuhan hakiki hidup manusia. Jika kepercayaan kepada Tuhan merupakan unsur penting dari agama, maka Cak Nur mengatakan bahwa manusia secara alamiah sudah percaya dengan adanya Tuhan “sehingga sebenarnya usaha mendorong manusia untuk percaya kepada Tuhan adalah tindakan berlebihan. (tidak didorong pun manusia telah percaya kepada tuhan’, begitu kira-kira rumus sederhananya)”. Argument fitrah untuk pembuktian eksistensi Tuhan ini sebenarnya juga berasal dari Ibn Taimiyah. Tetapi argument ini kemudian diperkuat oleh Cak Nur dengan menunjuk kepada fenomena komunisme yang meskipun telah berusaha menghapus agama, ternyata tidak berhasil, bahkan komunisme sendiri akhirnya menjelma menjadi sejenis agama, dimana tokoh-tokoh komunis menjadi objek pemujaan bagi para pengikutnya.[20] Islam humanis adalah paham keIslaman dengan cara melakukan inisiasi, apresiasi, elaborasi dan pengembangan berbagai kegiatan yang mengarah pada upaya penampilan Islam yang lebih berpihak kepada pemberdayaan manusia dan masyarakat melalui pendekatan keilmuan.
Pemberdayaan manusia dan masyarakat melalui pengkajian secara kritis terhadap ide pemikiran, masalah sosial keagamaan dan nilai-nilai Islam yang humanis. Nilai-nilai Islam yang humanis kemudian diapresiasi dan diinternalisasikan dalam bentuk penelitian, pelatihan, diskusi dan seminar, serta penerbitan sebagai sarana pemberdayaan masyarakat. Upaya ini juga lebih lanjut diperkuat dengan sosialisasi dan publikasi ide dan pemikiran yang kritis, terbuka, liberatif, transformative dan emansipatif yang mengarah kepada penampilan Islam yang humanis dan pemberdayaan masyarakat. Wacana dan upaya untuk menampilkan Islam humanis yang dikemukakan di atas dapat dilihat dengan fenomena dan orientasi keIslaman yang sedang digulirkan oleh civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Salah satu indikasi bahwa perguruai tinggi Islam tertua ini mengusung Islam humanis adalah digulirkannya visi rahmatan lil ‘alamin (kebaikan untuk semua). UII Yogyakarta secara sungguh-sungguh sedang menempatkan diri pada posisi agar keberadaan dan kehadirannya, benar-benar memberikan kebaikan bagi umat muslim khususnya dan pada bangsa Indonesia pada umumnya. Hal ini diwujudkan baik melalui program-program Universitas, fakultas-fakultas, lembaga-lembaga yang ada di lingkungan Universitas, maupun melalui pengembangan program studi yang merespon kebutuhan umat. Maka kesimpulan akhir dari humanism Cak Nur, dengan sendirinya, adalah suatu humanisme religious di mana agama dan kemanusiaan menyatu dengan mesra.
Islam sebagai agama yang haq dan sempurna hadir di bumi diperuntukkan untuk mengatur pola hidup manusia agar sesuai fitrah kemanusiaannya yakni sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadirat-Nya. Irodat Allah subhanahu wata’ala, kesempurnaan hidup terukur dari personality manusia yang integratif antara dimensi dunia dan ukhrawi, individu dan sosial, serta iman, ilmu dan amal yang semuanya mengarah terciptanya maslahat hidup di dunia baik secara individual maupun kolektif.
Secara normatif Islam tidak sekedar agama ritual yang cenderung individual akan tetapi merupakan suatu tata nilai yang mempunyai komunitas dengan kesadaran kolektif yang memuat paham/kesadaran, kepentingan, struktur  dan pola aksi bersama demi tujuan-tujuan politik. Substansi pada dimensi kemasyarakatan agama memberikan spirit pada pembentukan moral dan etika. Islam yang menetapkan Tuhan dari segala tujuan menyiratkan perlunya peniru etika ke Tuhanan yang meliputi sikap rahmat (pengasih), barr (pemula), ghafur (pemaaf), rahim (penyayang), dan ihsan (berbuat baik). Totalitas dari etika tersebut menjadi kerangka pembentukan manusia yang kaffah (tidak boleh mendua) antara aspek ritual dengan aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi, dan sosial budaya).
Adanya kecenderungan bahwa peran kebangsaan Islam mengalami marginalisasi dan tidak mempunyai peran yang signifikan dalam mendesain bangsa merupakan implikasi dari proses yang ambigiutas dan distorsif. Fenomena ini ditandai dengan terjadinya mutual understanding antara Islam sebagai agama dan pancasila sebagai ideology. Penempatan posisi yang antagonis sering terjadi karena berbagai kepentingan politik penguasa dari politisi-politisi yang mengalami split personality.
e)        Aktualisasi HMI dalam membumikan Islam Inklusif di Indonesia
Sementara itu, kita juga harus lebih dalam mempelajari tentang sejarah kelahiran HMI. Agar kita tahu apa dan bagaimana Islam inklusif menurut HMI. Kelahiran HMI dari rahim pergolakan revolusi fisik bangsa pada tanggal 5 Februari 1947 didasari dengan semangat mengimplementasikan nilai-nilai ke-Islaman dalam berbagai aspek keindonesiaan. Semangat nilai yang menjadi embrio lahirnya komunitas Islam sebagai interest group (kelompok kepentingan) dan pressure group (kelompok penekanan). Dari sisi kepentingan sasaran yang hendak diwujudkan adalah terutangnya nilai-nilai tersebut secara normative pada setiap level kemasyarakatan, sedangkan pada posisi penekan adalah keinginan sebagai pejuang Tuhan (sabilillah) dan pembelaan mustadh’afin.
Proses internalisasi dalam HMI yang sangat beragam dan sesuai interaksi yang sangat plural menyebabkan timbulnya berbagai dinamika ke-Islaman dank e-Indonesiaan dengan didasari rasionalisasi menurut subyek dan waktunya. Pada tahun 1955 pola interaksi politik didominasi pertarungan ideologis antara nasionalis, komunus dan agama (Islam). Keperluan sejarah (historical necessity) memberikan spirit proses ideologis  organisasi. Eksternalisasi yang mjuncul adalah kepercayaan diri organisasi untuk “bertarung” dengan komunitas lain yang mencapai titik kulminasinya pada tahun 1965.
Seiring dengan kreatifitas intelektual pada kader HMI yang menjadi ujung tombak pembaharuan pemikiran Islam dan proses transformasi politik bangsa yang membutuhkan suatu perekat serta ditopang akan kesadaran sebuah tanggung jawab kebangsaan, maka pada kongres ke-X HMI di Palembang, tanggal 10 oktober 1971 terjadilah proses justifikasi pancasila dalam mukadimah Anggaran Dasar. Orientasi aktifitas HMI yang merupakan penjabaran dari tujuan organisasi menganjurkan terjadinya proses adaptasi pada zamannya. Keyakinan pancasila sebagai keyakinan ideology Negara pada kenyataannya mengalami proses stagnasi. Hal ini memberikan tuntutan strategi baru bagi lahirnya metodologi aplikasi Pancasila. Normatisasi Pancasila dalam setiap kerangka dasar organisasi menjadi suatu keharusan agar mampu mensuport bagi setiap institusi kemasyarakatan dalam mengimplementasikan tata nilai Pancasila.
Konsekuensi yang dilakukan HMI adalah ditetapkannya Islam sebagai identitas yang mensubordinasi Pancasila sebagai azas pada kongres XVI di Padang, Maret 1986. Islam yang senantiasa memberikan energi perubahan mengharuskan para penganutnya untuk melakukan invonasi, internalisasi, eksternalisasi maupun obyektifikasi. Dan yang paling fundamental peningkatan gradasi umat di ukur dari kualitas keimanan yang datang dari kesadaran paling dalam bukan dari pengaruh eksternal. Perubahan bagi HMI merupakan suatu keharusan, dengan semakin meningkatnya keyakinan akan Islam sebagai landasan Teologis dalam berinteraksi secara vertical maupun horizontal, maka pemlihan Islam sebagai azas merupakan pilihan dasar dan bukan implikasi dari sebuah dinamika kebangsaan.
Demi tercapainya idealisme ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, maka HMI bertekad Islam dijadikan sebagai doktrin yang mengarahkan pada peradaban secara integralistik, trasendental, humanis dan inklusif. Dengan demikian kader-kader HMI harus berani menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta prinsip-prinsip demokrasi tanpa melihat perbedaan keyakinan dan mendorong terciptan ya penghargaan Islam sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki dan menyerahkan semua demi ridho-Nya.[21]         


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Islam inklusif merupakan sebuah pandangan yang mengajarkan tentang sikap terbuka dalam beragama dan dengan berhubungan dengan agama non muslim. Sikap terbuka akan berdampak pada relasi sosial yang bersifat sehat dan harmonis antar sesama warga masyarakat. Teologi inklusifisme ini dilandasi dengan toleransi, itu tidak berarti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran hanyalah suatu sikap penghormatan akan kebebasan dan hak setiap orang untuk beragama, perbedaan beragama tidak boleh menjadi penghalang dalam upaya saling menghormati, menghargai, dan kerjasama.
Menurut pemahaman inklusif, bahwa sesungguhnya ajaran Islam lebih bersemangat mengandung unsur inklusif daripada ekslusif. Bahkan Islam melarang pemaksaan dalam beragama, artinya keberagamaan seseorang harus dijamin. Umat Islam harus memberikan kesempatan dan kebebasan yang seluas-luasnya kepada orang lain untuk memeluk agama yang diyakininya. Ini berarti inklusif menghormati dan menghargai kemajemukan agama.
Dengan demikian tujuan dari HMI diharapkan lahir model keberagamaan yang inklusif, humanis, trasendental, dan terbuka, menjamin kebebasan agama dan meminimalisir intervensi Negara. Karena itu, perlu membangun kembali rekonstruksi kesadaran teologis dan kepekaan terhadap kemajemukan serta keragaman. Dalam konteks ini, ketentuan perundangan yang dimiliki bangsa kita harus bertolak dan mempertimbangkan kemajemukan itu. Publikasi, film, televisi, dan berbagai media komunikasi sepatutnya tidak mengekspose hal-hal yang bersifat anti, menghina, atau melecehkan ajaran suatu agama. Sikap respek terhadap agama-agama harus menjadi bagian kurikilum pendidikan di pelbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apabila semua itu menjadi kenyataan, kita baru akan memahami apa yang pernah digambarkan oleh penyair Syufi Jalaluddin Rumi, saat ia menulis, “Lampu-lampu itu memang berbeda, tapi sinarnya sama.”
Sangat diharapkan penerapan konsep Islam Inklusif ini di Negara kita, bagaimana tidak dengan adanya konsep ini kita tidak akan menemukan dan mendengar lagi berita tentang perusakan tempat ibadah atau penyerangan terhadap sekelompok penganut agama tertentu tatkala melakukan ibadah oleh oknum penganut agama lain. Yang akan kita temukan adalah kuatnya solidaritas antar umat beragama sehingga menciptakan kehidupan yang sejahtera, aman dan sentosa yang diridhoi oleh Allah SWT. Antara umat beragama bisa saling duduk bareng berdampingan dalam semua keadaan.
Mengurangi rasa ego juga sangat diperlukan, kebanyakan dari kita mengedepankan ego, amarah dan emosional ketika dihadapkan dengan permasalahan umat apalagi tentang agama, karena rasa ego dalam menganggap bahwa agama yang kita anut adalah agama yang paling benar. Tidak ada agama lagi selain agama yang kita anut yang berhak masuk surga. Dan ketika rasa ini kuat bersemayam dii dalam tubuh kita maka kita akan mati-matian dalam membela agama yang kita anut. Adapun sebaliknya maka kita akan merasakan kehidupan yang penuh dengan ukhuwah antar beragama, tidak lagi ada anarkisme antar umat beragama.
Harapan terakhir semoga kita sadar akan keadaan yang selama ini telah kita rasakan dan hati kita tergerak untuk segera menggunakan konsep Islam Inklusif ini demi tercapainya kehidupan adil, makmur,aman, sejahtera dan sentosa yang diridhoi oleh Allah SWT.






DAFTAR PUSTAKA
al-Isfahani, Al-Raghib. Mufradat al-Qur’an, Beirut: Dar al-Syamiyah, 1996.
Budi Purnomo, Aloys. Membangun Teologi Inklusif Pluralistic, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003.
Departemen Agama RI. Al-Jumanatul ‘Ali Al-Quran dan Terjemahannya, CV Penerbit J-Art, 2005.
Madjid, Nurcholish. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Cet. XI, Bandung: Mizan, 1998.
Maulana, Ahmad. Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Yogyakarta: Absolut, 2009.
Mujiburrahman. Mengindonesiakan Islam, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Ridwan, Muhammad, dkk., Modul LK 1 HMI Cabang Ciputat, Ciputat, t.p, 2008.
Riyadi, Irfan dan Basuki. Membangun Inklusifisme Faham Keagamaan, Ponorogo, STAIN Ponorogo Press, 2009.
Sirry, Mun’im, A. Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern, Jakarta: Erlangga, 2003.
Sukidi. Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2001.
Shihab, Alwi. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Bandung: Mizan, 2004.
Wahid, Abdurrahman. Tuhan Tidak Perlu di Bela, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Wijdan SZ, Aden. dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007.



Curriculum Vitae
Data Pribadi :
Nama                                       : Tutur Ahsanil Mustofa
Tempat/Tanggal Lahir : Madiun, 03 April 1990
Status                                      : Mahasiswa
Agama                                     : Islam
Alamat                                                : JL. Legoso Raya Ciputat
Nomor Telepon                       : 087858112894
Pendidikan Formal:
-          SDN 01 Glonggong, Balerejo, Madiun (1995-2001)
-          PMDG, Ponorogo (2001-2007)
-          UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Jurusan Bahasa dan Sastra Arab (2009-sekarang)
Pengalaman Organisasi:
-          Bagian Pramuka PMDG (2006-2007)
-          Kader komisariat, HMI Cabang Ciputat (2009-sekarang)
-          Pengurus Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora (KOFAH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2010-2011)

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya agar dipergunakan sebagaimana mestinya.

Ciputat, 16 Juli 2011
    Hormat saya,



Tutur Ahsanil Mustofa


[1]M. Irfan Riyadi, M.Ag. dan Basuki, M.Ag. Membangun Inklusivisme Faham Keagamaan. STAIN press, Ponorogo.
[2]Alwi Shihab, Islam Inklusif, hal. 78-81.
[3]M. Irfan Riyadi, M.Ag. dan Basuki, M.Ag. Membangun Inklusivisme Faham Keagamaan. STAIN press, Ponorogo.
[4]Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. XI, h. 81-82.
[5]Al-Raghib al-Isfahani, Mufradat al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Syamiyah, 1996), h. 423.
[6]al-Tahdzîb dan al-Muhkam dan menurut Imam Syafi’ie.
[7]Sudrajat, Ajat, Tafsir Inklusif makna Islam, AK. Group, Yogjakarta 2004.
[8]Aden Wijdan SZ. dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), h. 138.
[9]Lihat: http://mujiartomahbub.blogspot.com. Di akses pada: 13 Juli 2011
[10]Aden Wijdan SZ. dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, h. 139.
[11]Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 118.
[12]Mun’im, Membendung Militansi Agama, h. 119.
[13]Islam Inklusif- Pluralis. Artikel  Yayasan Lembaga SABDA (YLSA).  2008. Dalam situs  http://www.sabda.org. Di akses pada: Selasa, 13 Juli 2011.
[14]Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 236.
[15]Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 237.
[16]Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, h. 238.
[17]Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu di Bela (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. xxxiii.
[18]Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu di Bela, h. xxxiv.
[19][19]Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu di Bela, h. 98.
[20]Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), Cet. I, h. 199-200.
[21]Muhammad Ridwan, dkk., Modul LK 1 HMI Cabang Ciputat (Ciputat, t.p, 2008), h. 42-43.

0 komentar:

Posting Komentar